Kamis, 31 Januari 2013

Jika Galaksi-Galaksi Raksasa Saling Bertabrakan

"Jika Anda memiliki dua galaksi yang kira-kira sebanding dan keduanya berada di jalur tabrakan, maka masing-masing lebih menembus ke pusat satu sama lain, sehingga ada lebih banyak massa yang berakhir di pusat."

Dengan menggunakan “lensa” gravitasional di ruang angkasa, para astronom Universitas Utah menemukan bahwa pusat galaksi-galaksi terbesar bertumbuh menjadi lebih padat – memberi bukti terjadinya tabrakan dan penggabungan secara berulang-ulang antar galaksi-galaksi raksasa.

“Kami menemukan bahwa selama 6 miliar tahun terakhir, materi yang membentuk galaksi elips raksasa semakin terkonsentrasi ke arah pusat galaksi. Ini merupakan bukti bahwa galaksi besar menabrak galaksi besar lainnya untuk membuat galaksi yang lebih besar,” kata astronom Adam Bolton, penulis utama dalam studi baru ini.

“Penelitian-penelitian paling terbaru sebelumnya telah menunjukkan bahwa galaksi besar bertumbuh dengan cara memangsa galaksi-galaksi yang lebih kecil dalam jumlah banyak,” tambahnya. “Kami menunjukkan bahwa tabrakan besar antar galaksi besar adalah sama pentingnya dengan makanan kecil yang banyak.”

Studi baru ini — yang dipublikasikan dalam The Astrophysical Journal –dikerjakan oleh tim Bolton dari Sloan Digital Sky Survey-III dengan menggunakan teleskop optik selebar 2,5 meter pada Apache Point, N.M., dan Teleskop Ruang Angkasa Hubble yang mengorbiti bumi.

Teleskop-teleskop ini pernah digunakan untuk mengamati dan menganalisa 79 “lensa gravitasional,” yang merupakan galaksi di antara bumi dan galaksi-galaksi yang jaraknya lebih jauh. Gravitasi galaksi lensa berguna dalam membelokkan cahaya yang berasal dari galaksi yang lebih jauh, menciptakan sebuah cincin atau sebagian cincin cahaya di sekitar galaksi lensa.

Ukuran cincin itu digunakan untuk menentukan massa pada setiap galaksi lensa, dan kecepatan bintang-bintangnya digunakan untuk menghitung konsentrasi massa di setiap galaksi lensa.

Bolton mengerjakan penelitian ini bersama dengan para tiga astronom lainnya dari Universitas Utah – peneliti pasca-doktoral Joel Brownstein, mahasiswa pascasarjana Yiping Shu dan sarjana Ryan Arneson -juga bersama para anggota Sloan Digital Sky Survey: Christopher Kochanek dari Universitas Ohio State; David Schlegel dari Lawrence Berkeley National Laboratory; Daniel Eisenstein dari Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics; David Wake dari Universitas Yale; Natalia Connolly dari Hamilton College, Clinton, NY; Claudia Maraston dari Universitas Portsmouth, Inggris, dan Benjamin Weaver dari Universitas New York.

Makanan besar dan makanan kecil untuk galaksi elips raksasa
Studi baru ini berurusan dengan jenis galaksi-galaksi elips terbesar yang pernah diketahui, masing-masing berisi sekitar 100 milyar bintang. Dengan menghitung “materi gelap” yang tak terlihat, galaksi-galaksi itu mengandung massa sebesar 1 triliun bintang seperti matahari kita.

“Mereka adalah produk akhir dari semua tabrakan dan penggabungan generasi-generasi galaksi sebelumnya, mungkin ratusan tabrakan,” kata Bolton.

Meskipun bukti terbaru dari studi lain menunjukkan bahwa galaksi elips raksasa bertumbuh dengan memangsa galaksi yang jauh lebih kecil, namun simulasi komputer Bolton sebelumnya menunjukkan bahwa tabrakan antar galaksi besar adalah satu-satunya penggabungan galaksi yang mengarah pada meningkatnya kepadatan massa di pusat galaksi elips raksasa.

Ketika sebuah galaksi kecil bergabung dengan yang lebih besar, polanya berbeda. Galaksi kecil terkoyak-koyak oleh gravitasi dari galaksi besar. Bintang-bintang dari galaksi kecil tetap berada di dekat pinggiran galaksi besar, bukan pusatnya.

“Tapi jika Anda memiliki dua galaksi yang kira-kira sebanding dan keduanya berada di jalur tabrakan, maka masing-masing lebih menembus ke pusat satu sama lain, sehingga ada lebih banyak massa yang berakhir di pusat,” kata Bolton.

Penelitian terbaru lainnya menunjukkan bahwa bintang-bintang menyebar lebih luas ke dalam galaksi dari waktu ke waktu, mendukung gagasan bahwa galaksi besar memangsa galaksi-galaksi yang jauh lebih kecil.

“Kami menemukan bahwa galaksi-galaksi itu semakin terkonsentrasi pada massa mereka dari waktu ke waktu meskipun kurang terkonsentrasi pada cahaya yang mereka pancarkan,” kata Bolton.
Bolton meyakini bahwa tabrakan antar galaksi besar menjelaskan bertumbuhnya konsentrasi massa tersebut, sedangkan galaksi yang menelan galaksi-galaksi kecil lebih menjelaskan cahaya bintang yang jaraknya jauh dari pusat galaksi.

“Kedua proses ini penting untuk menjelaskan gambarannya secara keseluruhan,” kata Bolton. “Cara berkembangnya cahaya bintang tidak dapat dijelaskan dengan tabrakan besar, jadi kita benar-benar membutuhkan kedua jenis tabrakan, yaitu tabrakan besar dan kecil — Yang besar dalam jumlah sedikit dan yang kecil dalam jumlah banyak.”


Gambar ini diambil dari Teleskop Ruang Angkasa Hubble, menunjukkan cincin cahaya dari galaksi jauh yang tercipta saat galaksi dekat berada pada latar depan — tidak ditunjukkan dalam gambar ini — bertindak sebagai “lensa gravitasional” untuk membengkokkan cahaya dari galaksi jauh sehingga membentuk cincin cahaya yang dikenal sebagai cincin Einstein. Dalam studi baru, astronom Adam Bolton beserta para kolega mengukur cincin ini untuk menentukan massa dari 79 galaksi lensa yang merupakan galaksi-galaksi elips raksasa. Studi ini menemukan bahwa pusat galaksi-galaksi besar itu semakin memadat dari waktu ke waktu, menjadi bukti terjadinya tabrakan berulang antar galaksi-galaksi raksasa. (Kredit: Joel Brownstein, Universitas Utah, untuk NASA/ESA dan Sloan Digital Sky Survey).
Studi ini juga menunjukkan bahwa tabrakan antar galaksi besar adalah “tabrakan kering” — artinya, galaksi-galaksi yang bertabrakan mengalami kekurangan gas dalam jumlah besar karena sebagian besar gasnya sudah membeku untuk membentuk bintang — dan bahwa galaksi-galaksi yang bertabrakan tidak saling memukul dalam posisi lurus satu sama lain, atau yang diistilah Bolton sebagai “pukulan menyerempet”.

Sloan Bertemu Hubble: Bagaimana Studi Dilakukan
Universitas Utah bergabung pada tahap ketiga Sloan Digital Sky Survey, yang dikenal sebagai SDSS-III, pada tahun 2008. Dengan melibatkan sekitar 20 lembaga riset di seluruh dunia, proyek yang terus berlanjut hingga tahun 2014 ini merupakan upaya internasional dalam memetakan luar angkasa sebagai cara untuk mencari planet-planet raksasa dalam sistem tata surya lain, mempelajari asal usul galaksi dan ekspansi alam semesta, serta menyelidiki materi gelap dan energi gelap misterius yang membentuk sebagian besar alam semesta.

Bolton mengatakan bahwa studi barunya ini “nyaris berkuah” dengan menyertakan sebuah proyek SDSS-III bernama BOSS (Baryon Oscillation Spectrographic Survey). BOSS berupaya dalam mengukur sejarah ekspansi alam semesta dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Hal itu memungkinkan para ilmuwan untuk mempelajari energi gelap yang mempercepat perluasan alam semesta. Alam semesta diyakini hanya terdiri dari 4 persen materi biasa, 24 persen “materi gelap” kasat mata dan 72 persen energi gelap yang belum-terjelaskan.

Selama penelitian BOSS terhadap galaksi-galaksi, komputer yang menganalisis spektrum cahaya yang dipancarkan galaksi mengungkap puluhan lensa gravitasional, yang ditemukan karena tanda-tanda alam dari dua galaksi yang berbeda berada dalam satu garis.


Gambar dari Teleskop Luar Angkasa Hubble ini sama dengan gambar sebelumnya, tapi tidak melalui pengolahan yang sama. Hasilnya, cincin Einstein dari galaksi jauh menjadi kurang tajam, namun galaksi “lensa gravitasional”-nya menjadi terlihat pada bagian tengah gambar. (Kredit: Joel Brownstein, Universitas Utah, untuk NASA/ESA dan Sloan Digital Sky Survey)
Studi Bolton melibatkan 79 lensa gravitasional yang terobservasi dari dua survei:
  • Survei Sloan dan Teleskop Ruang Angkasa Hubble yang mengumpulkan gambar serta spektrum warna pancaran sinar dari galaksi-galaksi tua yang jaraknya relatif dekat — meliputi 57 lensa gravitasional — 1 milyar hingga 3 milyar tahun di masa lalu.
  • Survei lain yang mengidentifikasi 22 lensa di antara galaksi-galaksi muda yang berjarak lebih jauh, dari 4 miliar hingga 6 miliar tahun di masa lalu.
Cincin cahaya di seputar galaksi lensa gravitasional dinamakan “Cincin Einstein” karena Albert Einstein pernah memprediksi efeknya, meskipun Beliau bukanlah orang pertama yang melakukannya.
“Galaksi-galaksi yang lebih jauh mengirimkan sinar cahaya yang berpencar, namun sinar-sinar yang melintas di dekat galaksi yang lebih dekat bisa dibengkokkan menjadi kesatuan sinar cahaya yang tampak oleh kita sebagai cincin cahaya di seputar galaksi dekat,” kata Bolton.

Semakin besar jumlah materi dalam sebuah galaksi lensa, maka semakin besar pula cincinnya. Itu tampaknya berlawanan dengan intuisi, namun massa yang lebih besar memiliki tarikan gravitasi yang cukup untuk membuat jalur lintasan cahaya bintang jauh sedemikian menikung sehingga bisa terlihat oleh pengamat, menciptakan sebuah cincin yang lebih besar.

Jika terdapat lebih banyak materi yang terkonsentrasi di dekat pusat galaksi, bintang-bintang yang lebih cepat akan terlihat bergerak mendekati atau menjauhi pusat galaksi, kata Bolton.

Teori-teori Alternatif
Bolton dan rekan-rekannya mengakui bahwa pengamatan mereka ini dapat dijelaskan dengan teori-teori lain selain gagasan galaksi yang semakin memadatkan pusatnya dari waktu ke waktu:
  • Gas yang runtuh untuk membentuk bintang dapat meningkatkan konsentrasi massa dalam sebuah galaksi. Bolton berpendapat bintang-bintang dalam galaksi tersebut sudah terlalu tua untuk menguatkan penjelasan ini.
  • Gravitasi dari galaksi-galaksi terbesar menanggalkan galaksi-galaksi “satelit” pada pinggirannya, meninggalkan lebih banyak massa yang terkonsentrasi di pusat galaksi satelit. Bolton berpendapat proses tersebut tidak mungkin bisa menghasilkan konsentrasi massa yang telah terobservasi dalam studi baru ini dan menjelaskan bagaimana tingkat massa pusat berkembang dari waktu ke waktu.
  • Para peneliti hanya mendeteksi batas pada tiap galaksi antara wilayah bagian dalam yang didominasi bintang dan wilayah bagian luar, yang didominasi materi gelap kasat mata. Berdasarkan hipotesis ini, tampilan konsentrasi massa galaksi yang berkembang dari waktu ke waktu itu adalah karena adanya suatu kebetulan dalam metode pengukuran dari para peneliti – mereka mengukur galaksi-galaksi muda pada area yang lebih jauh dari pusatnya dan mengukur galaksi-galaksi tua pada area yang lebih dekat dari pusatnya, menghadirkan ilusi konsentrasi massa di pusat galaksi yang bertumbuh dari waktu ke waktu. Bolton berpendapat bahwa perbedaan pengukuran ini terlalu kecil untuk menjelaskan pola yang terobservasi pada kepadatan materi di dalam galaksi-galaksi lensa.
Jurnal: Adam S. Bolton, Joel R. Brownstein, Christopher S. Kochanek, Yiping Shu, David J. Schlegel, Daniel J. Eisenstein, David A. Wake, Natalia Connolly, Claudia Maraston, Ryan A. Arneson, Benjamin A. Weaver. The Boss Emission-Line Lens Survey. II. Investigating Mass-Density Profile Evolution in the Slacs+bells Strong Gravitational Lens Sample. The Astrophysical Journal, 2012; 757 (1): 82 DOI: 10.1088/0004-637X/757/1/82

http://fhandypandey.com/index.php/Turki/kilas-balik-trojan-war-di-troia-%E2%80%93-canakkale.html

http://fhandypandey.com/index.php/Turki/puing-puing-kota-tua-ephesus.html

http://fhandypandey.com/index.php/Turki/maryem-ana-evi-rumah-maria-ibu-yesus.html

Menembus batas Fisika klasik: Sifat Mekanika Kuantum Cahaya ditunjukkan

Dengan argumentasi sederhana, para peneliti menunjukkan kalau alam itu rumit! Para peneliti dari lembaga Niels Bohr membuat eksperimen sederhana yang menunjukkan kalau alam melanggar akal sehat – dunia berbeda dari sebagian besar orang percaya.


Hasil ini diterbitkan dalam jurnal ilmiah   Physical Review Letters.
Dalam fisika ada dua kategori: fisika klasik dan fisika kuantum. Dalam fisika klasik, objek misalnya mobil atau bola, memiliki posisi dan kecepatan. Ini bagaimana kita secara klasik melihat dunia kita sehari-hari. Di dunia kuantum, benda dapat juga memiliki posisi dan kecepatan, namun tidak di saat yang sama. Bukan semata karena kita tidak tahu posisi dan kecepatan, tapi, kedua hal ini memang tidak dapat ada secara bersamaan. Namun bagaimana kita tahu kalau mereka tidak ada secara serempak? Dan dimana perbatasan dari kedua dunia ini? Para peneliti telah menemukan cara baru menjawab pertanyaan ini.
Cahaya pada mekanika kuantum
“Tujuan kami adalah memakai mekanika kuantum dengan cara baru. Karenanya penting bagi kita untuk tahu kalau sebuah sistem memang berperilaku yang tidak dapat memiliki penjelasan klasik. Pada sisi ini, kami pertama kali memeriksa cahaya,” kata Eran Kot, mahasiswa PhD di tim peneliti, Quantum Optics di Niels Bohr Institute University of Copenhagen.
Berdasarkan sederetan eksperimen di lab optika kuantum, mereka memeriksa keadaan cahaya. Dalam fisika klasik, cahaya memiliki medan listrik dan medan magnet sekaligus.
“Apa yang ditunjukkan oleh studi kami adalah cahaya dapat memiliki medan magnet dan medan listrik, namun tidak secara bersamaan. Kami kemudian memberi bukti sederhana kalau eksperimen memecah prinsip klasik. Dapat dikatakan kalau kami menunjukkan kalau cahaya memiliki sifat kuantum, dan kita dapat memperluas ini pada sistem lain juga,” kata Eran Kot.
Mekanika klasik dan non-klasik
Tujuan penelitian ini adalah memahami dunia secara mendasar, namun ada juga tantangan praktis untuk mengeksploitasi mekanika kuantum dalam konteks yang lebih luas. Bagi cahaya tidaklah mengejutkan kalau ia berperilaku mekanis kuantum, namun metode lain juga sedang dikembangkan untuk mempelajari sistem lain.
“Kami berusaha mengembangkan komputer kuantum masa depan dan kami karenanya perlu memahami batasan dimana sesuatu berperilaku mekanis kuantum dan kapan ia berperilaku mekanis klasik,” kata profesor fisika kuantum, Anders S Sorensen, menjelaskan kalau komputasi kuantum harusnya tersusun dari sistem-sistem dengan sifat non klasik.

Fermi NASA mengukur ‘Kabut’ Kosmik yang dihasilkan Sinar Bintang Purba

Astronom menggunakan data dari Teleskop Antariksa sinar Gamma Fermi milik NASA membuat pengukuran sinar bintang paling akurat di alam semesta dan memakainya untuk menghitung jumlah total cahaya dari semua bintang yang pernah bersinar, memenuhi tujuan misi yang utama.

 “Cahaya tampak dan ultraviolet dari bintang terus bergerak di alam semesta bahkan setelah bintang tersebut berhenti bersinar, dan ini menciptakan medan radiasi fosil yang dapat kita jelajahi menggunakan sinar gamma dari sumber jauh,” kata kepala ilmuan   Marco Ajello, seorang peneliti pasca doctoral di  Kavli Institute for Particle Astrophysics and Cosmology Stanford University California dan Space Sciences Laboratory University of California Berkeley.
Sinar gamma adalah bentuk cahaya yang paling berenergi. Sejak peluncuran Fermi tahun 2008,  Large Area Telescope (LAT) mengamati seluruh langit mencari sinar gamma energi tinggi setiap tiga jam, menciptakan peta alam semesta paling detail mengenai energi ini.
Jumlah total sinar bintang di alam semesta diketahui para astronom sebagai cahaya latar belakang luar galaksi – extragalactic background light (EBL). Untuk sinar gamma, fungsi EBL seperti semacam kabut kosmik. Ajello dan timnya menyelidiki EBL dengan mempelajari sinar gamma dari 150 blazar, atau galaksi yang ditenagai oleh lubang hitam, yang dengan kuat dideteksi memiliki energy lebih besar dari 3 miliar electron volt (GeV), atau lebih dari satu miliar kali energi cahaya tampak.
“Dengan lebih dari seribu yang telah dideteksi saat ini, blazer adalah sumber paling umum yang dideteksi Fermi, namun sinar gamma pada energy ini hanya sedikit dan jauh, itu mengapa perlu empat tahun data untuk membuat analisis ini,” kata anggota tim  Justin Finke, astrofisikawan dari Naval Research Laboratory Washington.
Saat materi jatuh ke lubang hitam supermasif galaksi, sebagian darinya dipercepat keluar pada kecepatan nyaris sama dengan cahaya dalam jet yang menuju ke arah berlawanan. Ketika satu dari jet ini kebetulan mengarah ke Bumi, galaksinya tampak sangat cemerlang dan digolongkan sebagai sebuah blazar.
Sinar gamma yang dihasilkan dalam jet blazar bergerak melintasi miliaran tahun cahaya ke Bumi. Saat perjalanannya, sinar gamma melewati kabut cahaya tampak dan ultraviolet yang dipancarkan oleh bintang yang terbentuk sepanjang sejarah alam semesta.
Biasanya, sinar gamma bertabrakan dengan sinar bintang dan mengubahnya menjadi pasangan partikel – satu elektron dan pasangan anti materinya, satu positron. Ketika ini terjadi, sinar gamma hilang. Akibatnya, proses ini mengecilkan sinyal sinar gamma mirip seperti kabut membuat redup mercusuar yang jauh.
 Dari studi pada blazar dekat, para ilmuan telah menemukan seberapa banyak sinar gamma harus dipancarkan pada energi tertentu. Blazar yang lebih jauh menunjukkan lebih sedikit sinar gamma pada energy tinggi – khususnya di atas 25 GeV – karena penyerapan oleh kabut kosmik.
 Blazar terjauh kehilangan paling banyak sinar gamma energi tingginya.
Para peneliti kemudian menentukan atenuasi rata-rata sinar gamma sepanjang tiga jangkauan jarak antara 9.6 miliar tahun lalu dan sekarang.
 Dari pengukuran ini, para ilmuan mampu memperkirakan ketebalan kabut. Untuk mempertimbangkan pengamatan, rata-rata kepadatan bintang di alam semesta adalah sekitar 1,4 bintang per 100 miliar tahun cahaya kubik, yang artinya rata-rata jarak antar bintang di alam semesta adalah sekitar 4.150 tahun cahaya.
 Sebuah makalah menjelaskan temuan ini dalam Science Express.
“Hasil Fermi membuka kemungkinan menarik dari pembatasan periode pembentuk bintang alam semesta tertua, sehingga memberi panggung bagi  James Webb Space Telescope NASA,” kata Volker Bromm, astronom dari University of Texas, Austin, yang berkomentar atas temuan ini. “Secara sederhana, Fermi memberi kita gambaran bayangan bintang pertama, sementara Webb akan secara langsung mendeteksinya.”
 Mengukur cahaya latar belakang ekstra galaksi adalah salah satu tujuan misi utama Fermi.
“Kami sangat gembira mengenai prospek memperluas pengukuran ini lebih jauh lagi,” kata  Julie McEnery, ilmuan proyek misi dari  Goddard Space Flight Center Greenbelt, Md.
Goddard mengatur rekanan penelitian fisika partikel dan astrofisika Fermi. Fermi dikembangkan dalam kerjasama antara Kementrian Energi AS dengan kontribusi dari lembaga akademis dan mitra dari Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Swedia, dan AS.
Sumber berita:

Redesain Bioreaktor Meningkatkan Hasil secara Dramatis

Ganggang mikro adalah tanaman ber sel satu yang menjadi mesin fotosintesis paling efisien dan terkecil di alam: semua yang ia butuhkan hanya hidup di air, cahaya, dan udara. Ketika dibiakkan dalam kondisi tak terkendali, penerapannya mulai dari farmasi hingga perawatan limbah bahkan bioenergi.

Para ilmuan dari Universitas Ben Gurion di Negrev Israel menemukan strategi untuk meningkatkan hasil ganggang. Mereka menjelaskannya dalam jurnal Institut Fisika Amerika  Applied Physics Letters.
Tim  Ben-Gurion menciptakan model fisika yang menjelaskan pengamatan utama yang diperoleh dalam bioreaktor baru yang dirancang dan dibuat oleh kelompok berbeda di universitas ini, dipimpin oleh Amos Richmond. Bioreaktor ini pada dasarnya merupakan wadah datar dengan dinding transparan yang dapat diterangi oleh sinar matahari atau cahaya buatan. Gelembung udara memberi makan dari dasar bercampur dengan air sehingga sel ganggang bergerak maju mundur antara daerah terang tipis di dekat dinding dan interior gelap reaktor, yang menghasilkan sel terpapar pada kilatan cahaya pendek.
 Bioreaktor ini menghasilkan perolehan biomassa jauh lebih besar dari metode pembiakan biasa. Dalam penelitian mereka, para ilmuan menjelaskan kalau penting untuk memperhitungkan interplay antara fisika dan biologi: skala waktu intrinsik fotosintesis dapat diselaraskan dengan pola aliran dan penerangan bioreaktor dimana ganggang tumbuh. Peningkatan dramatis hasil biomassa ini suatu saat dapat mengubah ganggang mikro menjadi sumber energi terbarukan yang mudah diperoleh secara ekonomis.

Sumber berita:

Salju Himalaya akan Mengerut Hampir 10 Persen, Bahkan Jika Suhu Tidak Berubah

iarpun hujan, cerah, salju, sebagian salju Himalaya tetap terus mengerut selama bertahun-tahun ke depan.

Laporan oleh professor geologi   Brigham Young University Summer Rupper muncul setelah penelitiannya di Bhutan, sebuah daerah di mata badai muson Himalaya. Diterbitkan dalam  Geophysical Research Letters, temuan paling konservatif Rupper adalah bahkan jika iklim tetap sama, hampir 10 persen glasier Bhutan akan hilang dalam beberapa dekade ke depan. Terlebih lagi, jumlah air yang meleleh dari glasier ini dapat turun hingga 30 persen.
 Rupper mengatakan peningkatan suhu hanya satu hal dibalik melorotnya glasier. Sejumlah faktor iklim seperti angin, kelembaban, presipitasi, dan penguapan dapat mempengaruhi bagaimana glasier berperilaku. Dengan beberapa glasier Bhutan sepanjang 13 mil, ketidakseimbangan daerah ini dapat membuatnya perlu berdekade untuk merespon sepenuhnya.
“Glasier semacam ini telah melihat banyak pemanasan dalam beberapa dekade terakhir yang mereka sedang berusaha kejar sekarang,” jelas Rupper.
Faktanya, laju hujan salju di Bhutan akan berlipat dua untuk menghindari berkurangnya glasier, namun itu skenario yang kecil kemungkinannya karena suhu yang menghangat menyebabkan hujan air bukannya hujan salju. Jika glasier terus kehilangan lebih banyak air dari yang dapat mereka peroleh, kombinasi lebih banyak hujan dan lebih banyak glasier yang meleleh akan meningkatkan kemungkinan banjir – yang dapat merusak desa-desa di sekitarnya.
 “Banyak populasi di dunia ini berada di kaki Himalaya,” kata Rupper. “Banyak kebudayaan dan sejarah akan hilang, bukan hanya bagi Bhutan namun juga Negara tetangganya yang menghadapi resiko ini.”
Untuk menggambarkan kemungkinan kejadian ini, Rupper melakukan penelitiannya satu langkah lebih jauh. Hasilnya menunjukkan jika suhu naik hanya 1 derajat Celsius, glasier Bhutan akan mengerut hingga 25 persen dan air yang meleleh setiap tahun akan turun hingga 65 persen. Dengan iklim yang terus menghangat, prediksi demikian bukan lagi hal yang mustahil, khususnya perlu bertahun-tahun bagi glasier untuk bereaksi pada perubahan.
 Untuk membuat prediksi yang lebih eksak untuk Bhutan, Rupper dan mahasiswa pasca sarjana BYU Landon Burgener dan Josh Maurer bekerjasama dengan para peneliti dari  Columbia University, Lamont-Doherty Earth Observatory, NASA, dan Departemen Layanan Hidro-Meteorologi Bhutan. Bersama, mereka menjelajahi hutan hujan dan lereng kering untuk menjangkau sebagian balok es paling terpencil di dunia. Disana mereka meletakkan stasiun cuaca dan peralatan pengawas glasier yang dapat dipakai untuk mengumpulkan data real-time dalam berbulan dan bertahun-tahun ke depan.
“Perlu tujuh hari hanya untuk mencapai glasier target,” ingat Rupper, yang pulang bulan Oktober. “Bagi tim hewan, pengendara kuda, dan pemandu, wilayah dan ketinggian tersebut adalah jalan hidup, namun aku akui kalau orang barat di kelompok ini sedikit bergerak lambat.”
 Laporan dan penelitian lapangan Rupper adalah salah satu yang pertama memeriksa glasier di Bhutan, dan pemerintah berharap memakai penelitiannya untuk membuat keputusan jangka panjang mengenai sumberdaya air dan ancaman banjir di Negara ini.
 “Mereka dapat secara potensial menemukan gagasan yang lebih baik mengenai dimana harus membentengi rumah atau membangun pembangkit listrik baru,” kata Rupper. “Diharapkan, sains yang baik dapat membawa pada solusi rekayasa yang baik untuk perubahan yang mungkin akan kita saksikan dalam dekade-dekade ke depan.”

Sumber berita:

Rabu, 30 Januari 2013

Geologi dan Sistem Hidrotermal Lahendong, Minahasa, Sulawesi Utara

Daerah lahendong, Minahasa, Sulawesi Utara terletak pada jalur gunung berapi aktif (jalur mediteran). Prospek panas bumi di daerah ini ditandai oleh dijumpainya manifestasi panas bumi.
Kondisi geologi daerah ini didominasi oleh batuan vulkanik berumur tersier (post miosen) sampai resen. Batuan tertua yang berumur miosen tersingkap di bagian timur daerah Tondano, terdiri dari breksi (dengan komposisi andesitic), dan tuff. Secara local dijumpai batuan konglomeratik dengan interkalasi tuf, batupasir, batu lempung dan lensa batugamping. Batuan Vulkanik yang berumur pliosen-plistosen terdiri dari “Tondano tuff’ dan batuan vulkanik gunung api muda. Batuan vulkanik gunung api muda ini membentuk gunung api tipe strato a.l gunung Soputan, lokon (menghasilkan lava flow bersifat basaltic). Di bagian utara dan selatan danau Tondano tersingkap endapan fluiatil dan lacustrine berumur plistosen akhir.
Di beberapa tempat di daerah Lahendong dijumpai alterasi batuan yang variasi dari lemah sampai kuat. Secara structural daerah minahasa termasuk dalam busur vulkanik dari system orogenesa tersier. Lahendong, Tompaso dan Tondano termasuk di dalam daerah ini.
Van Bemmelen (1949) berpendapat, bahwa danau Tondano adalah suatu depresi dari tondano sampai Langowan dan terbentuk oleh patahan-patahan sejajar satu sama lain dengan arah umum baratlaut-tenggara. Tetapi kemngkinan lain adalah bahwa danau Tondano merupakan suatu kaldera yang dihasilkan dari suatu “volcano tectonic deression” pada zaman pra sejarah (Buntaran & Prijanto, 1981 dan Johnson, 1976), sama dengan danau Toba di Sumatera.
Penelitian lebih lanjut telah membuktikan bahwa danau Tondano adalah sisa-sisa kaldera (Ganda & D. Sunaryo, 1983), dimana aktivitas gunung api terdapat di dalam dan sekelilingnya sebagai kegiatan lanjutan dari kegiatan di zaman kwarter. Di sebelah barat dari danau Tondano terdapat gunung Tampusu dengan danau Linau di lereng sebelah barat. Sisa dari aktivitas gunung api terdapat di sekeliling gunung tersebut dan juga sebelah baratdaya. Di sebelah timur gunung Tampsu terdapat banyak mata air panas sedang sebelah barat dari danau linau terdapat fumarole dari Lahendong.


Geologi Umum 
Daerah Prospek Tompaso terletak pada lengan Utara pulau Sulawesi yang  merupakan bagian dari rangkaian gunung api yang berarah SW-NE yang terdiri dari Utara ke Selatan yaitu G. Klabat, G. Mahawu, G. Soputan dan G. Ambang. Prospek Geothermal Tompaso dikontrol oleh kaldera besar danau Tondano yang dihasilkan oleh volcano tectonic depression yang di perkirakan terjadi pada Plio-Pleistosen. Prospek Tompaso ini juga merupakan gugusan kompleks gunung api Lembeyan yang sangat besar yang dibatasi di sisi Utara oleh rangkaian gunung api aktif Lokon dan Mahawu dan di bagian Selatan oleh Gunung Soputan, G. Sempu, G. Rindangaen serta di bagian Timur oleh Rim danau Tondano. Produk gunung api tua Lembeyan/Tondano terdiri dari piroklastik tufa batu apung dan ignimbrit yang kemudian ditutupi oleh produk gunung api kuarter. Prospek Geothermal Tompaso terletak di dalam depresi dengan relief relatif datar dengan elevasi rata-rata 750 masl. Gunung api aktif yang diduga dapat mempengaruhi deep hidrologi prospek Tompaso adalah berasal dari Gunung Soputan dari sisi sebelah Barat daya, sedangkan G. Sempu yang terletak di timur laut G. Soputan memperlihatkan bekas dari suatu kaldera yang tidak aktif lagi. Dari data core sumur bor dangkal terlihat bahwa prospek Tompaso pada awalnya tertutup oleh air danau ataupun aktifitas fluvial. Akibat tektonik dan vulkanisme Danau Tondano, daerah Lahendong sebagian terangkat dan menyebabkan seluruh daerah miring ke Barat dan terbentuk erupsi baru seperti G. Rindangen, G. Aesoput, G. Lengkoan, G.Tampusu dan G. Kasuratan. Stuktur patahan diinterpretasikan dari foto udara berupa lineament atau kelurusan kelurusan dan kelengkungan yang merupakan sesar tua yang teraktifkan. Beberapa struktur patahan yang didapat dari foto udara adalah :
• Kelurusan regional yang merupakan struktur tua dengan arah NE-SW dan NW-SE.
• Sesar NE-SW melalui G. Damaah, G. Masarang, kompleks gunungapi Tampusu-Kasuratan, kompleks Soputan-Sempu.
• Gawir sesar normal yang menghadap ke barat daya di puncak G. Lengkoan.
• Sesar yang berarah NW-SE melalui sungai Bapaluan, daerah manifestasi Tempang dan pegunungan Lembeyan Tenggara.
• Sesar E-W melalui dua daerah alterasi Batukolok di G. Rindengan dan Tompaso dan Tempang.

Sesar-sesar di atas memegang peranan di dalam pengontrolan hidrologi sistem panasbumi Tompaso serta pemunculan manifestasi di permukaan. Berdasarkan volkanostatigrafi di atas, terlihat bahwa evolusi magmatis yang diharapkan sebagai sumber panas bergerak dari Timur laut ke arah Barat daya yaitu dari gunung Lengkoan, Gunung Sempu, gunung Manimporok-Rindengan-Aesoput dan terakhir pada gunung Soputan. Jadi sumber panas yang masih exist dan relatif dangkal adalah berasal dari Gunung Soputan. Untuk struktur patahan yang berperan sebagai zona permeabilitas tinggi diinterpretasikan berasal dari struktur yang berarah Timur laut – Barat daya dan patahan yang hampir Timur barat.


Selasa, 29 Januari 2013

8 Keyakinan Membuat Anda Tahan Banting dalam Berbisnis

Berikut ini 8 keyakinan yang diperlukan saat terjun ke dunia bisnis agar Anda tahan banting, seperti dikutip dari Inc, Selasa (1/1/2013)

Energi Panas Bumi (Geothermal)

Geothermal (Panas Bumi)

Geotermal dari segi bahasa berasal dari kata Geo yang berarti bumi dan thermal yang berarti panas. Geothermal sendiri adalah energi alami di dalam bumi yang berasal dari hasil interaksi antara panas batuan dan air yang mengalir di sekitarnya. Geothermal sendiri merupakan energi yang terbarukan (renewable energy).
Panas Bumi sangat terkait dengan aktivitas tektonik yaitu, penujaman lempeng samudra ke bawah lempeng kontinen dan pemekaran lantai samudra oleh arus konveksi magma. Dapat juga dipengaruhi oleh aktivitas struktur yang besar, contoh : sesar palu koro, Sulawesi Tengah.
Sumber daya Panas Bumi terdiri dari 4 jenis yaitu, hidrothermal, Hot dry rocks, Geopressured dan magma. Energi panas bumi yang umum dimanfaatkan adalah sistem hirothermal karena pada sistem hidrothermal pori-pori bataun mengandung air, uap, atau keduanya dan reservoir umumnya terletak tidak terlalu jauh sehingga masih ekonomis untuk diusahakan.
Sistem hidrothermal sendiri adalah sistem energi panas bumi yang melibatkan sirkulasi fluida dari daerah meteoric recharge ke daerah sumber panas dan kedalam reservoir yang memenuhi kriteria geologi, Hidrologi, dan heat transfer yang cukup terkonsentrasi untuk membentuk sumber daya energi.

Sistem hidrothermal mempunyai 5 komponen yaitu :
      Sumber Panas
      Daerah resapan untuk menangkap air meteorik
      Batuan permeabel, yaitu tempat fluida (umumnya air) terakumulasi
      Batuan penudung
      Fluida atau air yang membawa panas ke permukaan bumi.
Klasifikasi sistem hirothermal dibagi 2 yaitu berdasarkan temperatur dan berdasarkan kandungan fluida.
Sedang berdasarkan jenis fluida produksi dan jenis kandungan fluida utamanya sistem hidrothermal dibedakan menjadi dua, yaitu sistem satu fasa dan sistem dua fasa. Sistem dua fasa sendiri terdiri dari dua jenis yaitu :
    Sistem dominasi air (water dominated system), merupakan sumber panasbumi yang reservoar geotermalnya didominasi oleh air (200-300 ºC). Air pada reservoar ini menerima panas dari konduksi panas pada batuan bedrock yang terpanasi oleh magma. Air panas tersebut kemudian terperangkap di bawah batuan caprock, sehingga terbentuklah reservoar geotermal dengan water dominated.
      Sistem dominasi uap (vapour dominated system), yaitu sistem panasbumi yang didominasi oleh uap kering atau uap basah. Temperaturnya bervariasi antara 230-320 ºC, tergantung dari kandungan gas dan kedalaman reservoir. Energi panas yang dimiliki oleh uap/air pada dasarnya berasal dari magma bertemperatur 1200 oC, energi panas ini dialirkan secara konduksi pada lapisan batuan impermeable yang disebut bedrock. Di atas bedrock, terdapat batuan permeable yang berfungsi sebagai aquifer yang berasal dari air hujan, mengambil energi panas dari bedrock secara konveksi dan induksi. Air panas itu cenderung bergerak naik ke permukaan bumi akibat perbedaan berat jenis. Pada saat air panas bergerak ke atas, tekanan hidrostatisnya turun dan terjadilah penguapan. Karena di atas aquifer terdapat batuan impermeable yang disebut caprock, maka terbentuklah sistem vapor dominated reservoir.
Pemanfaatan energi Panas Bumi terdiri dari tahapan eksplorasi (pemetaan detail, survei geokimia, survei geofisika, landaian suhu, pemboran eksplorasi, dan studi kelayakan), pengembangan (pemboran sumur produksi dan injeksi, pemipaan, penyiapan fasilitas produksi, dan konstruksi), komersial (produksi uap).